HarapanRakyat-Dalam percaturan politik di Indonesia saat ini telah dilanda percaturan adudomba diantara Masyarakat selaku pendukung yahng disebutnya sebagai Buzzer. Tak hayal mereka kadang saling mencaci maki di media sosial dan tidak sedikit berlanjut dengan adu jotos. Pertarungan itu adalah Naratif dimana sebuah rangkaian kejadian yang boleh disebut berseri.
Ironisnya lagi, Buzzer-buzzer dari kalangan pendukung pemerintah adalah kebal hukum. Menurut para pengamat dan pegiyat media sosial bahwa penomena itu terlihat dari betapa banyaknya pendukung-pendukung oposisi yang terjerat kasus undang-undang IT sementara pihak pemerintah terlepas dari jerat tersebut. Sebut saja nama-nama yang kadang disebut sebagai provokator; Deny Siregar, Ade Armando dan juga Victor Liaskodat serta Abu Janda alias Permadi Arya.
Para ilmuan dari Universitas Oxford, Inggris telah membuat kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan menyangkut penomena dukung mendukung yang dilakukan pihak pemerintah.
Dilansir dari Demokrasi.co.id, Pemerintah dan partai-partai politik Indonesia mengerahkan serta membiayai pasukan siber alias buzzer di media sosial untuk memanipulasi opini publik, demikian hasil penelitian para ilmuwan Universitas Oxford, Inggris tersebut.
Pengerahan buzzer oleh pemerintah Indonesia itu diulas dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dalam laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.
Dalam laporan itu dibeberkan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
Selain itu ditemukan juga bahwa di Indonesia, pemerintah dan partai-partai politik memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Sementara alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot.
Berdasarkan isinya konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar.
Para buzzer di Indonesia, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp 1 juta sampai Rp 50 juta.
Di Indonesia para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Para buzzer belum banyak bergerak di Youtube.
Para peneliti dalam laporan ini secara umum menemukan bahwa manipulasi opini publik memanfaatkan media sosial dilakukan oleh 70 negara di seluruh dunia pada 2019, naik dari hanya 48 negara pada 2018 dan 28 negara pada 2017.
"Penggunaan propaganda komputasional untuk membentuk perilaku publik via media sosial sudah menjadi umum, sudah bukan lagi aksi dari segelintir aktor jahat," tulis para peneliti dalam laporan itu.
China, menurut penelitian itu, adalah negara yang paling aktif dalam propaganda di media sosial. Tidak hanya memengaruhi publik di dalam negeri, propaganda China juga sudah menyasar khalayak global.
"Pada 2019 pemerintah China mulai menggerakan platform media sosial global untuk mencemarkan perjuangan demokrasi di Hong Kong," demikian bunyi laporan itu lebih lanjut.
Temuan menarik lain dari laporan itu adalah bagaimana Facebook menjadi alat utama yang digunakan oleh pasukan siber atau buzzer di seluruh dunia.
Dari entry techcrunch.com menyebutkan bahwa Penelitian baru oleh Oxford Internet Institute telah menemukan bahwa manipulasi media sosial semakin buruk, dengan meningkatnya jumlah pemerintah dan partai politik yang secara sinis menggunakan algoritma media sosial, otomatisasi dan data besar untuk memanipulasi opini publik pada skala - dengan implikasi yang sangat mengkhawatirkan bagi demokrasi.
Laporan tersebut menemukan bahwa propaganda komputasi dan manipulasi media sosial telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir - sekarang sudah lebih dari dua kali lipat jumlah dari (70) negara yang pada dua tahun lalu hanya (28) negara. Peningkatan mencapai 150%.
Dalam laporan yang kami download dari comprop.oii.ox.ac.uk yamng berjudul: The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation dimana terdapat 23 halaman tersebut menjelaskan
"Selama tiga tahun terakhir, kami telah memantau organisasi global manipulasi media sosial oleh pemerintah dan partai politik. Laporan 2019 kami menganalisis tren propaganda komputasi dan alat yang berkembang, kapasitas, strategi, dan pemamfaatan sumber daya.
Pertama; Bukti kampanye manipulasi media sosial terorganisir yang telah terjadi di 70 negara, naik dari 48 negara di 2018 dan 28 negara di 2017. Di setiap negara, setidaknya ada satu partai politik atau lembaga pemerintah yang menggunakan media sosial untuk membentuk sikap publik di dalam negeri.
Kedua: Media sosial telah dikooptasi oleh banyak rezim otoriter. Di 26 negara, propaganda komputasi digunakan sebagai alat kontrol informasi dalam tiga cara berbeda: untuk menekan hak asasi manusia yang fundamental, mendiskreditkan lawan politik, dan menenggelamkan perbedaan pendapat.
Ketiga: Sejumlah aktor negara yang canggih menggunakan propaganda komputasi untuk operasi pengaruh asing. Facebook dan Twitter mengaitkan operasi pengaruh asing dengan tujuh negara (Cina, India, Iran, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, dan Venezuela) yang telah menggunakan platform ini untuk mempengaruhi audiens global
Keempat: China telah menjadi pemain utama dalam tatanan disinformasi global. Hingga protes 2019 di Hong Kong, sebagian besar bukti propaganda komputasi China terjadi di platform domestik seperti Weibo, WeChat, dan QQ. Tetapi minat baru yang ditemukan Cina dalam penggunaan agresif Facebook, Twitter, dan YouTube harus meningkatkan kekhawatiran terhadap demokrasi.
Kelima: Meskipun ada lebih banyak platform jejaring sosial dari sebelumnya, Facebook tetap menjadi platform pilihan untuk manipulasi media sosial. Di 56 negara, kami menemukan bukti kampanye propaganda komputasi yang diselenggarakan secara formal di Facebook."
Dalam laporan tahun tersebut, mengaku telah meneliti aktivitas pasukan cyber di 70 negara: Angola, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Bosnia & Herzegovina, Brasil, Kamboja, Cina, Kolombia, Kroasia, Kuba, Republik Ceko, Ekuador, Mesir , Eritrea, Etiopia, Georgia, Jerman, Yunani, Honduras, Guatemala, Hongaria, India, Indonesia, Iran, Israel, Italia, Kazakhstan, Kenya, Kyrgyzstan, Makedonia, Malaysia, Malta, Meksiko, Moldova, Myanmar, Belanda, Nigeria, Utara Korea, Pakistan, Filipina, Polandia, Qatar, Rusia, Rwanda, Arab Saudi, Serbia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Suriah, Taiwan, Tajikistan, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris, Amerika Serikat, Uzbekistan, Venezuela, Vietnam, dan Zimbabwe.
Laporan itu menyebutkan bahwa dibeberap negara pihak pemerinta dan partai yang secara otoriter bekerjasama perusahaan dan kelompok-kelompok disewa oleh pemerintah untuk menyampaikan pendapat umum atau propaganda komputitif dalam membentuk opini publik dari berbagai akun-akun palsu (Akun Robot) dan pernyataan-pernyataan polisi melalui saluran online
Red: Andi
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami