Oleh: Neng
Djubaedah
Kasus prostitusi online bukanlah masalah baru di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa prostitusi atau pelacuran di
Indonesia masih tetap berlangsung meskipun prostitusi dinilai masyarakat
Indonesia sebagai perbuatan yang melanggar nilai dan norma masyarakat?
Penomena Yang Sangat Menjijikkan Dimedia Online |
Pertama, penulis hendak menulai dari penggunaan istilah,
bahwa pemulis lebih memilih istilah Pelacuran daripada istilah Pekerja Seks
Komersial (PSK). Alasannya adalah mengomersialkan seks bukan pekerjaan halal
yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
Kedua, sejarah pelacuran di Indonesia terjadi pada abad
ke-18 (1755) bahwa bagi masyarakat kelas bawah yang menyerahkan anak gadisnya
menjadi selir raja, kemudian ia melahirkan anak-anak yang statusnya sebagai
anak raja, maka, dengan demikian keluarga kelas bawah tsb terangkat derajatnya
karena keluarganya ada keterkaitan dengan keluarga istana.
Menurut Koentjoro, sebagaimana dikutip Terence H. Hull,
Endang Sulistyaningsih, dan Gavin E. Jones dalam buku Pelacuran di Indonesia,
bahwa ada 11 Kabupaten menjadi pemasok perempuan cantik untuk Kerajaan, yang
kini wilayah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah
kota (Terence H. Hull, et.al, Pelacuran di Indonesia, hal.2).
Ketiga, pelacuran tidak dilarang dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, kecuali mucikari. Karena itu, setiap muncul
kasus pelacuran di media yang dilakukan orang-orang beken, para pelacurnya dan
pengguna atau pemakai pelacur atau konsumen pelacuran tidak dapat dikenanakan
hukuman. Karena (1) pelacuran tanpa paksaan tidak merupakan perbuatan pidana di
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai produk pemerintahan
Hindia Belanda yang menjajah Indoneisa, tidak menentukan perbuatan pelacuran
yang dilakukan dengan kerelaan sebagai perbuatan pidana (asas legalitas).
Demikian pula dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak melarang pelacuran yang
dilakukan dengan kerelaan sebagai perbuatan pidana. Bahkan dalam Pasal 11 huruf
g RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun merumuskan pelacuran tanpa pemaksaan
bukan perbuatan pidana. Alasan (2) bahwa para pengguna atau pemakai pelacur
atau konsumen pelacuran tidak ditentukan sebagai pembuat pidana pelacuran.
Karena itu, para pengguna atau pemakai pelacur dapat
leluasa melakukan dan menggunakan pelacuran sebagai rekreasi seksual, karena ia
sebagai konsumen pelacuran. Demikian pula dalam UU PKDRT, UU No. 23 Tahun 2004,
Pasal 5 huruf c juncto Padal 8 hurud b, tidak menentukan pengguna atau pemakai
kekerasan seksual untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, sebagai
pembuat pidana kekeraan seksual. Alasan (3) adalah KUHP Pasal 296 hanya
menentukan hukuman bagi mucikari yaitu setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain (pelacuran), dan
menjadikannya sebagai pencaharian
atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama
1 tahun 4 bulan.
Menurut penulis, alasan-alasan yuridis itulah yang
menyebabkan pelacuran di Indonesia sukar diberantas, meskipun masyarakat Indonesia menolak pelacuran.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berfalsafahkan Pancasila, sila pertama dan utama adalah sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945, dalam
Pasal 29 ayat (1) ditentukan bahwa
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena itu, setiap peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan hukum agama
yang ada di Indonesia, di antaranya tidak boleh bertentangan dengan hukum
Islam, yang mana hukum Islam sebagai bagian dari agama Islam.
Dalam hukum Islam, tepatnya dalam surah an-Nur ayat 33
ditentukan larangan perdagangan orang untuk dilacurkan atau perdagangan
pelacuran. Dan dalam surah an-Nur ayat 2 ditentukan hukuman cambuk 100
kali bagi pezina laki-laki dan pezina
perempuan yang terbukti melakukan zina.
Dalam hadis Rasulullah ﷺ ditentukan hukuman rajam bagi
pezina laki-laki dan pezia perempuan
yang pernah menikah atau pezina yang sedang terikat dalam perkawinan ( muhshan
dan muhshanah).
Karena itu, menurut hukum Islam, pelacuran adalah
perzinaan. Karena itu, bagi pelaku pelacuran, baik pelacurnya maupun pemakai
pelacur, jika tebukti, dikenakan hukuman atau hadd zina.
Akan tetapi bagi perempuan korban pelacuran, yaitu
perempuan yang dipaksa melakukan pelacuran, maka ia tidak dikenakan hukuman
atau hadd zina. Namun ia dikategorikan sebagai korban pemaksaan pelacuran.
Dengan demikian, terhadap kotban pelacuran yang dipaksakan terhadap dirinya,
berdasarkan ta’zir, ia dapat memperoleh ganti kerugian (restitusi). Sebagaimana
kita ketahui bahwa banyak anak gadis lugu yang membutuhkan pekerjaan, mereka
ditipu akan diberikan pekerjaan halal di kota, ternyata ia jadi korban
pelacuran yang dipaksakan oleh mucukari.
Dengan demikian, maka hendaknya hukum di Indonesia secara
tegas menentukan larangan pelacuran dan menentukan hukunan bagi mucikari, pelacur dan pemakai pelacur yang
dilakukan dengan kerelaan masing-masing, tanpa paksaan dari siapa pun. Karena
pelacuran adalah perzinaan.
Zina adalah perbuatan pidana (jarimah) yang hukumannya
ditentukan langsung dalam al-Quran surah an-Nur ayat 2 dan hadis Rasulullah ﷺ
tentang kasus Ma’iz Bin Malik dan juga kasus Ghamidiyah yang dijatuhi hukuman rajam
karena terbukti berzina. Sedangkan bagi orang yang dipaksa melakukan pelacuran
hendaknya diberikan hak restitusi, terlebih jika akibat dari pemaksaan
pelacuran itu dilahirkan anak hasil pemaksaan pelacuran. Tentu, syarat-syarat
pemaksaan pelacuran harus ditentukan secara tegas.
Namun, kita ketahui dan
sadari bahwa Negara Republik Indonesia bukan negara Islam, bukan negara
Nasrani, bukan negara Hindu, bukan negara Budha, bukan negara Konghucu, tetapi negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa yang berpenduduk mayoritas (87%) beragama Islam.
Jadi tidak ada salahnya Negara Republik Indonesia
menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber pembentukan hukum di
Indonesia, disamping hukum Adat dan hukum Barat sepanjang tidak bertentangan
dengan Pancasila.
Di anraranya ketentuan larangan pelacuran dan hukumannya,
yang memang fakta sosial bahwa pelacuran merupakan perbuatan aib yang tidak
diterima oleh masyarakat, dan perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama yang
ada di Indonesia, khususnya ajaran agama Islam.
Jika pelacuran dilegalkan karena alasan kurang
tersedianya lapangan pekerjaan, maka alasan tersebut tidak dapat diterima,
karena ternyata orang-orang yang menjadi pelacur, di antaranya adalah orang
yang mempunyai pekerjaan. Selain itu, di Indonesia masih banyak tersedia
pekerjaan halal yang membawa barakah, asalakan ada kehendak yang
sungguh-sungguh berdasarkan keimanan yang kokoh.*
Penulis adalah pakar hukum, pemerhati keluarga
Redaksi :
Tulisan ini Dikutif melalui hidayatullah.com
0 Please Share a Your Opinion.:
Diharap Memberi Komentar Yang Sopan & Santun
Terimakasih Atas Partisipasi Mengunjungi Web Kami